Atas Nama Rakyat dan Polri, Ketum PERJOSI Ingatkan Presiden untuk Bijak dalam Reformasi

TARGETNASIONAL, JAKARTA, — Wacana masa depan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali mencuat sejak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai menjalankan agenda besar bertajuk β€œReformasi Besar Penegakan Hukum.” Dalam sejumlah pertemuan kabinet dan forum kebijakan, beredar berbagai skenario: mulai dari reformasi internal menyeluruh, reposisi struktural di bawah kementerian tertentu, hingga skenario ekstrem, peleburan Polri ke dalam sistem aparatur sipil negara (ASN).

Langkah awal reformasi telah dimulai. Presiden Prabowo membentuk Komite Reformasi Kepolisian Nasional, beranggotakan tokoh hukum, akademisi, dan mantan perwira tinggi. Komite ini diberi mandat meninjau ulang struktur, tata kelola, serta efektivitas Polri dalam menjaga keamanan dan menegakkan hukum di era digital.

Bacaan Lainnya

Namun di balik rencana ambisius tersebut, muncul pertanyaan besar di tengah publik, ke mana sebenarnya arah masa depan Polri, Apakah akan dilebur menjadi institusi sipil biasa, atau justru diperkuat dengan sistem baru yang lebih transparan dan professional.

Ketua Umum Perserikatan Journalist Siber Indonesia (PERJOSI), Salim Djati Mamma, menilai pemerintah harus sangat berhati-hati dalam menentukan arah reformasi.

Menurutnya, pembubaran atau peleburan Polri bukan solusi atas krisis kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

β€œBangsa ini butuh pembenahan, bukan pembubaran, Kalau Polri dilebur, siapa yang menjaga keamanan rakyat, siapa yang menegakkan hukum ketika sistem baru belum siap. Ini bukan sekadar soal struktur, tapi soal kepercayaan negara terhadap dirinya sendiri.” Tegasnya.

Bung Salim menambahkan, reformasi harus diarahkan pada perubahan budaya dan perilaku, bukan hanya perubahan struktur kelembagaan.

β€œKalau reformasi hanya memindahkan Polri ke kementerian tanpa memperbaiki integritas aparat, ya sama saja. Polri harus berubah dari dalam, dengan dukungan publik dan pengawasan media.” tuturnya menegaskan.

Sumber internal menyebut, Komite Reformasi tengah memetakan tiga opsi besar, Reformasi internal total, Reposisi struktural terbatas, dan Peleburan penuh ke dalam sistem ASN, antara harapan dan kekhawatiran.

Menurut laporan kebijakan terakhir yang disampaikan ke Presiden, opsi pertama, yakni reformasi internal menyeluruh, dianggap paling realistis. Opsi ini mencakup pembenahan pendidikan di Akademi Kepolisian, sistem merit berbasis kinerja, serta pembentukan pengawas independen di luar struktur Mabes Polri.

Sementara opsi kedua, reposisi struktural, mempertimbangkan agar Polri tidak lagi langsung di bawah Presiden, melainkan berkoordinasi dengan kementerian terkait seperti Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Hukum dan HAM. Tujuannya memperkuat kontrol sipil dan akuntabilitas publik.

Namun opsi ketiga, yakni peleburan total, yang dapat memantik kontroversi. Banyak pakar menilai, penggabungan seluruh personel Polri ke dalam ASN justru berpotensi menimbulkan kekosongan fungsi keamanan dan kelumpuhan sistem penegakan hukum nasional.

Bung Salim menilai, ada Tiga Skenario Masa Depan Polri yakni, Reformasi Total dan Reposisi Terukur, dianggap skenario terbaik, sebab dalam skenario ini, Polri tetap berdiri sebagai institusi mandiri, namun menjalani reformasi besar-besaran dari dalam. Dimana langkah-langkahnya mencakup, rekrutmen berbasis integritas, peningkatan pelatihan HAM, pembentukan lembaga pengawas eksternal, serta transparansi anggaran.

β€œEfek sosialnya besar, kepercayaan publik meningkat, hubungan polisi dan masyarakat membaik, dan stabilitas ekonomi membaik karena kepastian hukum pulih.Biaya reformasi memang tinggi di awal, tetapi menjadi investasi jangka panjang bagi tata kelola keamanan nasional” jelasnya.

Bung Salim mengutarakan, Pemerintah menjalankan reformasi mendalam, melakukan perbaikan pendidikan dan rekruitmen berbasis uji kelayakan, penguatan mekanisme pengawasan internal dan eksternal misalnya, pengadilan kode etik independent atau ombudsman internal, modernisasi unit operasional, dan reposisi tata Kelola, yakni penyesuaian akuntabilitas tanpa peleburan total. Polri tetap sebagai institusi tersendiri, namun kedudukan administratifnya dikaji dan diperkuat pengawasan sipil.

β€œLangkah konkret seperti, pembentukan lembaga pengawas independen dengan wewenang penyelidikan internal, Standar rekrutmen baru (meritokrasi, seleksi psikologis dan HAM-red), serta transparansi anggaran dan audit eksternal, dan program pelatihan HAM, de eskalasi, dan community policing” jelasnya.

Sedangkan tambahnya, dari dampak sosial, dimana tingkat kepercayaan publik dapat meningkat secara bertahap, demonstrasi menurun jika penegakan akuntabilitas terlihat nyata. Hubungan masyarakat dan aparat membaik lewat community policing, insiden represif menurun. Serta dampak ekonomi, biaya reformasi awal tinggi (pelatihan, sistem pengawasan, remunerasi-red), tetapi jangka menengah-panjang menurunkan biaya sosial akibat konflik dan litigasi, iklim investasi lebih kondusif bila keamanan publik stabil dan penegakan hukum dipercaya.

β€œResiko internal atau reaksi personel, resistensi atau perlawanan sebagian kecil personel yang terbiasa dengan budaya lama, tetapi program kesejahteraan dan jalur karier jelas mengurangi gesekan, Tidak terjadi β€œrevolusi” atau gerakan besar internal, perubahan dipimpin kombinasi insentif dan sanksi” jelas Anak Purnawirawan Polri ini.

Sedangkan skenario kedua, yakni reposisi dtruktural tanpa pembaruan budaya, dianggap moderat, dalam skenario ini, Polri diposisikan ulang di bawah kementerian, namun tanpa perubahan signifikan pada budaya organisasi. Secara administratif, kinerja bisa membaik. Namun, tanpa perubahan perilaku dan mentalitas, masalah lama seperti penyalahgunaan wewenang dan ketertutupan informasi berpotensi terus berulang.

β€œAkibatnya, reformasi hanya menjadi setengah hati, memang secara hukum berubah, namun secara moral dan etika tetap stagnan. Resikonya, muncul faksi internal, antara kelompok pembaharu dan kelompok status quo, yang memperlemah kesatuan institusi” tambahnya.

Sebagai gambarannya, Bung Salim menuturkan, Pemerintah mengubah kedudukan Polri secara administratif misalnya mempertegas peran kementerian atau komisi pengawasan, melakukan beberapa pembaruan prosedural tetapi tidak menyentuh kultur dan rekrutmen secara radikal. Sehingga hasilnya, struktur berubah, tetapi praktik lama tetap bertahan di banyak unit.

β€œRevisi sebagian pasal hukum, atau perubahan posisi koordinasi, tanpa peleburan total. Pembenahan administrasi dan beberapa program transparansi, tetapi implementasi inkonsisten di daerah” jelasnya.

Adik mantan Wakabareskrim, Irjen Pol Dr Drs H Syahrul Mamma SH MH, ini juga mengungkapkan, publik merespons campuran, sebagian puas karena ada sinyal perubahan, sebagian menuntut lebih karena kasus-kasus pelanggaran masih berulang. Potensi protes publik jika insiden besar terjadi sementara reformasi terlihat lamban.

Dari dampak ekonomi, Bung Salim menjelaskan, biaya moderat, administrasi dan reorganisasi. Keamanan tidak berubah drastic, sehingga investor melihat sedikit perbaikan, tetapi risiko reputasi tetap ada.

β€œResiko internal atau reaksi personel, Friksi atau gesekan lebih nyata, petinggi yang takut kehilangan wewenang berusaha mempertahankan status quo pada di level menengah hingga bawah ada kebingungan soal prosedur baru. Resiko terbentuknya faksi internal, yakni kompetisi antara ‘pembaharu’ dan ‘konservatif’, namun revolusi internal besar tetap kurang mungkin sebab institusi cenderung birokratis, bukan militeristik yang mudah bertransformasi ke pemberontakan. Studi restrukturisasi menunjukkan restrukturisasi yang ambigu menurunkan moral dan kinerja” imbuhnya.

Asesor BNSP ini menegaskan, jika skenario ketiga ini adalah opsi terburuk, dimana Polri total dilebur jadi ASN, menurutnya ini paling ekstrem dan dinilai berbahaya. Jika Polri dilebur ke dalam ASN, seluruh personel harus disesuaikan ulang dalam sistem birokrasi sipil.

Konsekuensinya, jabatan dan pangkat kehilangan legitimasi hukum, sistem pelatihan harus dirombak total, dan semangat korps bisa menurun drastis.

β€œDampak sosialnya fatal, dan potensi kekosongan keamanan publik, kebingungan komando, serta naiknya angka kriminalitas. Secara ekonomi, turunnya rasa aman dapat mengguncang kepercayaan investor dan memicu instabilitas nasional” tegasnya kembali.

Menurutnya, dengan memutuskan peleburan Polri ke dalam struktur ASN atau kementerian misalnya, memindahkan fungsi tertentu ke Kementerian Dalam Negeri atau Kemenkumham serta membubarkan sebagian struktur, langkah cepat yang belum disiapkan secara hukum atau operasional. Sehingga keputusan ini memicu kekacauan organisasi, kebingungan tugas, dan kejatuhan legitimasi, baik di kalangan publik maupun personel Polri.

β€œUndang-undang diganti atau diinterpretasikan untuk memasukkan personel Polri ke dalam ASN umum tanpa hubungan pelatihan atau karier kompeten. Pengalihan sejumlah fungsi penegakan ke badan sipil yang belum siap. Sehingga dampak sosialnya akan kehilangan kapabilitas respons massa dan keamanan publik jangka pendek, sehingga celah keamanan yang dieksploitasi kriminal atau kelompok bersenjata lokal. Gelombang protes publik dan atau unjuk rasa kuat dari keluarga personel dan simpatisan Polri. Publik bingung soal siapa yang bertanggung jawab atas keamanan sehari-hari” jelasnya.

Dari sudut ekonomi akan adanya gangguan besar pada layanan publik yang bergantung pada keamanan, seperti,transportasi, logistik, industri pariwisata, sehingga kerugian ekonomi signifikan sementara.

β€œInvestasi menurun karena risiko politik dan hukum yang meningkat. Biaya transisi sangat besar, seperti pensiun dini, re-training, pembayaran pesangon, serta litigasi hukum” tambahnya.

Adapun resiko secara internal atau reaksi personel: Potensi perlawanan terorganisir di dalam tubuh Polri, mulai dari mogok administratif, pembangkangan perintah, hingga aksi massa internal seperti demonstrasi internal, tekanan politik. Namun β€œrevolusi bersenjata” tetap sangat tidak mungkin mengingat legalitas, kode etik, dan kontrol negara, lebih realistis, sabotase organisasi, penurunan kinerja massal, dan pembentukan blok politik dalam Polri.

β€œJika personel merasakan ancaman eksistensial terhadap status, karier, dan kesejahteraan, kemungkinan aksi kolektif besar meningkat, dan hal ini dapat memicu krisis politik, termasuk desakan DPR atau lembaga lain terhadap presiden. Studi perbandingan pada amalgamasi polisi di negara lain menunjukkan merger yang dipaksakan mengakibatkan penurunan moral, produktivitas, dan layanan” tegasnya.

Wartawan senior dibidang kriminal ini menambahkan, dari pantauan tim investigasi, sebagian besar anggota Polri mendukung reformasi, asalkan dilakukan profesional, adil, dan tidak mengancam hak karier maupun kesejahteraan. Namun jika reformasi berubah menjadi peleburan paksa, potensi perlawanan administratif bisa muncul.

β€œSkenario ekstrem seperti β€œrevolusi internal” dinilai kecil kemungkinan terjadi, karena Polri merupakan institusi sipil yang disiplin hukum, namun bentuk perlawanan bisa muncul dalam wujud penurunan kinerja massal atau tekanan politik melalui parlemen.

Sebagai Ketua Umum PERJOSI, ia juga menekankan pentingnya keterlibatan pers dan masyarakat sipil.

β€œPers harus ikut mengawal proses ini agar tidak hanya menjadi jargon politik. Kami di PERJOSI siap membantu memastikan transparansi agar Polri benar-benar kembali dipercaya rakyat,” tuturnya.

Sebelum menutup, Bung Salim berharap kepada, Presiden Prabowo, membenahi Polri adalah ujian besar dan tantangan di awal pemerintahannya. Jika berhasil, reformasi ini bisa menjadi warisan penting, menciptakan Polri yang modern, profesional, dan berwibawa.

Namun jika gagal, reformasi bisa berubah menjadi bumerang politik, memunculkan ketidakstabilan internal dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

β€œPolri bukan sekadar lembaga penegak hukum, tapi cermin moral negara, Kalau cerminnya retak, bayangan bangsanya juga akan buram. Dan Reformasi Polri bukan semata perubahan struktur, melainkan soal arah moral dan kepercayaan negara terhadap rakyatnya sendiri, reformasi yang sejati adalah ketika hukum ditegakkan dengan hati, bukan sekadar dengan kekuasaan” ujar Ketum Perjosi menutup pernyataannya.(tim)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *