Penulis : Nurwafiq Anugrah Purnama
TargetNasional Online – Kata misogini mungkin terdengar asing bagi beberapa kalangan, namun fenomena ini sebenarnya sering terjadi secara sadar maupun tidak sadar dalam kehidupan sosial masyarakat yang akrab dengan sistem patriarki.
Istilah misigoni sendiri lahir pada abad ke-17 dan berasal dari bahasa Yunani; misos yang berarti kebencian, dan gunē yang berarti wanita. Dapat dikatakan bahwa misogini adalah dampak dari budaya patriarki yang melihat perempuan lebih rendah dari pria. Secara umum misogini dapat diartikan sebagai ketidaksukaan, penghinaan, atau prasangka yang mendarah daging terhadap perempuan.
Hal ini tentu dapat merugikan bagi perempuan sebagai pribadi maupun kelompok.
Misogini dapat dialami oleh perempuan tanpa terkecuali, contoh fenomena ini dapat dilihat langsung terhadap pemimpin perempuan yang sering kali menghadapi tantangan yang berbeda dan lebih besar dibandingkan dengan pemimpin/rekan pria mereka.
Misogini terhadap pemimpin perempuan dapat terjadi dalam banyak bentuk, mulai dari kritik yang tidak adil hingga serangan pribadi yang kasar. Erat kaitannya dengan diskriminasi gender, menyebabkan pemimpin perempuan sering kali dinilai tidak hanya berdasarkan kinerja mereka tetapi juga berdasarkan norma-norma gender.
Mereka mungkin dikritik karena dianggap terlalu emosional, tidak cukup tegas, atau tidak sesuai dengan stereotip gender tertentu. Seksisme terhadap seorang pemimpin perempuan juga kerap terjadi secara terselubung maupun terbuka.
Salah satu pengkerdilan moral dari mudahnya akses informasi dan teknologi membuat kita dapat melihat seksisme ini bertebaran di social media berupa komentar yang merendahkan, lelucon seksis, atau pandangan yang meremehkan kemampuan mereka sebagai pemimpin.
Dalam beberapa kasus, hal ini dapat berujung pada ancaman kekerasan dan kekerasan itu sendiri, baik secara fisik maupun melalui media sosial dan platform online lainnya. Pemimpin perempuan juga sering kali harus menghadapi standar ganda di mana tindakan yang sama yang dilakukan oleh pria mungkin dianggap biasa, tetapi ketika dilakukan oleh perempuan, dianggap tidak pantas atau tidak profesional.
Penelitian menunjukkan bahwa pemimpin perempuan memiliki standar kepemimpinan ganda dibanding pria dimana mereka diperhadapkan dengan sesutu untuk bersikap hangat dan baik, serta kompeten dan keras secara bersamaan. Namun sayangnya sifat-sifat tersebut kerap dipandang berlawanan satu sama lain sehingga pemimpin perempuan harus menanggung standar ganda dalam kepemimpinannya.
Sebagai contoh berikut beberapa pemimpin perempuan di Indonesia yang kerap mengalami diskriminasi yang dilandasi oleh misogini; 1) Tri Rismaharini, mantan Wali Kota Surabaya dan Menteri Sosial Indonesia. Selama masa jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya, ia menghadapi berbagai bentuk misogini. Sebagai seorang pemimpin yang tegas dan berkomitmen untuk memperbaiki infrastruktur serta pelayanan publik di Surabaya, Risma sering kali dikritik karena gaya kepemimpinannya yang dianggap terlalu keras untuk seorang perempuan. Media dan oposisi politik sering kali fokus pada emosionalitasnya dalam menangani berbagai isu, menggambarkannya sebagai “terlalu emosional” atau “tidak stabil,” yang mencerminkan bias gender yang jelas. 2) Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, dikenal dengan pendekatan tegasnya dalam melawan illegal fishing dan menjaga sumber daya laut Indonesia. Selama masa jabatannya, Susi menghadapi berbagai bentuk misogini, termasuk kritik tentang penampilannya, gaya hidupnya yang tidak konvensional, dan keputusan-keputusan kontroversialnya.
Meskipun keberhasilannya dalam menegakkan hukum di laut dan memperkenalkan reformasi besar, Susi sering kali dikritik secara tidak adil karena dia seorang perempuan yang menolak untuk mengikuti norma-norma gender tradisional
Dampak dari misoginis terhadap pemimpinan perempuan setidaknya menyentuh 3 hal yakni, psikologis, profesionalis, dan kultularis. Secara tidak langsung misoginis dapat berujung kepada penyerangan mental yang menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi terhadap korbannya.
Misogini yang dialami oleh pemimpin perempuan juga dapat mempengaruhi persepsi publik tentang kemampuan perempuan untuk memimpin, yang pada gilirannya dapat menghalangi perempuan lain untuk mengejar posisi kepemimpinan. Hal ini tentu tidak hanya merugikan pemimpin perempuan sebagai individu saja tetapi juga mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya.
Meningkatkan kesadaran tentang misogini dan dampaknya merupakan langkah pertama yang penting untuk mencegah perilaku ekstrem ini. Edukasi tentang kesetaraan gender harus dimulai sejak dini dan terus dilakukan di semua tingkat pendidikan dan profesional. Kemudian perlu adanya implementasi kebijakan yang mendukung kesetaraan gender dan perlindungan terhadap diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Selain itu mentoring dan jaringan dukungan seperti program mentoring, kelompok dukungan, dan pelatihan kepemimpinan untuk pemimpin perempuan akan sangat membantu mereka dalam mengatasi tantangan yang dihadapi.
Misogini terhadap pemimpin perempuan merupakan masalah serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan nyata. Kritik terhadap perlakukan diskriminasi extrem ini ialah suatu kepemimpinan tidak seharusnya memiliki beban pandangan misoginis terhadap pemimpin perempuan yang dapat menyebabkan menurunnya kualitas sistem kemimpinan menjadi lemah. Dengan mengakui bentuk-bentuk misogini, memahami dampaknya, serta mengambil langkah-langkah konkret dalam mengatasi hal ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih adil dan setara bagi pemimpin perempuan. Kesetaraan gender dalam kepemimpinan bukan hanya tentang memberikan peluang yang sama, tetapi juga tentang menciptakan kondisi di mana perempuan dapat memimpin tanpa menghadapi hambatan dan diskriminasi berbasis gender.